Senin, 25 Maret 2013

S Y I R K A H


A.           Pengertian Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat. Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah.Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah). Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Secara etimologis syarikah berarti ikhtilath (percampuran), yakni bercampurnya satu harta dengan harta yang lain, sehingga tidak bisa dibedakan antara keduanya. Selanjutnya, kata syirkah itu digunakan oleh ummat Islam untuk sebuah transaksi perkongsian dalam dunia bisnis.
Dalam mendefinikan syirkah secara istilah syar’iy, para ulama berbeda penekanan yang mengakibatkan perbedaan rumusan redaksional. Malikiyah mengatakan, syarikah adalah pemberian wewenang kepada pihak-pihak yang bekerjasama. Artinya, setiap pihak memberikan wewenang kepada partnernya atas harta yang dimiliki bersama dengan masih tetap  berwenang atas harta masing-masing. Menurut Hanabilah syirkah itu adalah berhimpunnya hak dan wewenang untuk mentasharrufkan bisnis syirkah tersebut. Menurut Syafi’iyah, syirkah itu adalah eksisnya hak pada suatu bisnis yang dimiliki oleh dua orang atau lebih. Menurut Hanafiyah, syirkah itu adalah suatu akad yang terjadi antara dua oarang yang syarikat dalam modal dan keuntungan.Definisi yang lebih tepat dan jelas adalah defisini Hanafiyah, karena secara eksplisit ia menjelaskan hakikat syirkah itu sebagai akad kerjasama bisnis antara dua pihak di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi modal, dan keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan. Defenisi-defenisi yang lain tidak mengarah kepada substansi syirkah tetapi lebih kepada implikasi syirkah itu sendiri. Hal itu terlihat dari kata kunci yang mereka gunakan dalam mendefinisikan syirkah, yaitu kata hak (istihqaq dan wewenang tasharruf). Sementara dalam terminologi ilmu fiqih, arti syirkah yaitu: Persekutuan usaha untuk mengambil hak atau beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut Syirkatul Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syirkatul Uqud (Syirkah Transaksional). Kemudian dijelaskan mengenai definisi syirkah bahwasyirkah adalah suatu perjanjian kerjasama dibidang permodalan berupa investasi antara dua orang atau lebih untuk memperoleh keuntungan bersama.(Mahrus As’ad, dkk. 2004 : 99)

B.            Landasan  Syirkah
Dasar syari’ah konsep syirkah terdapat dalam Alquran, Sunnah dan Ijma’.
1.             Al Quran
فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ
Artinya :
”Maka mereka bersyarikat pada sepertiga” (QS. An-Nisa :12)
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
Artinya :
”Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu, sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih (QS.Shad : 24)
Kata Al-Khulatha’ dalam ayat di atas bermakna orang-orang yang bersyarikat(syuraka’).

2.             Al-Hadits
Sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah secara marfu’ bahwa Rasulullah Saw bersabda:
”Sesungguhnya Allah ’Azza wa Jalla berfirman, Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya. “ (H.R.Abu Daud dan Hakim dan mereka menshahihkan hadits ini).
Maksud hadits ini adalah bahwa Allah akan menjaga dan membantu mereka yang bersyarikah dengan memberikan tambahan pada harta mereka dan melimpahkan berkah pada perdagangan mereka. Jika ada yang berkhianat, maka berkah dan bantuan tersebut dicabut Allah.
Rasulullah Saw juga bersabda,
”Tangan Allah berada pada dua orang  yang bersyarikat selama tidak berkhianat” (Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni : 5/1).

3.             Ijma’
Para ulama telah konsensus (ijma’) membolehkan syirkah, meskipun ada perbedaan pendapat dalam persoalan-persoalan detailnya.
C.           Jenis-Jenis As-Syirkah
Secara umum Syirkah terbagai menjadi dua macam :
1.             Syirkah Amlak
Syirkah Amlak yaitu  dua orang atau lebih memiliki benda/harta, yang bukan disebabkan akad syirkah. Perkongsian pemilikan ini tercipta karena warisan, wasiat, membeli bersama, diberi bersama, atau kondisi lainnya yang berakibat pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih.Syarikah Amlak ini terbagi lagi kepada dua macam, yaitu syarikah ikhtiyardan syirkah jabar.
a)    Syarikah ikhtiyar yaitu syirkah yang terjadi oleh perbuatan dua orang yang bekerjasama, seperti manakala keduanya membeli, diberi atau diwasiati lalu keduanya menerima, sehingga sesuatu tersebut menjadi hak milik bersama bagi keduanya

b)   Syirkah jabar yaitu syirkah yang terjadi bukan oleh perbuatan dua pihak atau lebih sebagaimana syirkah ikhtiyar di atas, tetapi  mereka memilikinya secara otomatis, terpaksa dan tidak bisa mengelak (jabari), seperti dua orang yang mewarisi sesuatu, sehingga kedua orang tersebut sama-sama mempunyai hak atas harta warisan tersebut

2.             Syirkah ’Ukud
Syirkah ’Ukud yaitu transaksi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk berserikat dalam permodalan dan keuntungan.Dalam syarikah ukud tidak terdapat karakterrstik jabari.Karena itu, semua syirkah ukud bersifat ikhtiari, sehingga perundang-undangan (positif di Mesir) menyebutnya sebagai syarikah ikhtiyariyah.
Para ulama berbeda pendapat dalam membagi jenis-jenis syirkah ’ukud.
a)    Menurut Hanabilah, syirkah ’ukud ada 5 macam yaitu  :
1)   Syirkah ’inan
2)   Syirkah Mufawadhah
3)   Syirkah Abdan
4)   Syirkah Wujuh
5)   Syirkah Mudharaba

b)   Menurut Hanafiyah syirkah itu ada enam macam yaitu :
1)   Syirkah Amwal
2)   Syirkah A’mal
3)   Syirkah Wujuh
Setiap syirkah tersebut terdiri dari dua macam syirkah, yaitu syirkah mufawadhah dan syirkah ’inan.Sehingga seliuruhnya berjumlah enam jenis syirkah.
c)    Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah syirkah ada empat macam yaitu :
1)   Syirkah Inan
2)   Syirkah Mufawadhah
3)   Syirkah Abdan
4)   Syirkah Wujuh.
Para ulama sepakat bahwa syirkah ‘inan dibolehkan, Sedangkan untuk jenis syirkah yang lain, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Berdasarkan perbedaan pendapat dari para ulama mengenai macam-macam syirkah tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada 5 macam syirkah dalam islam yaitu :
1.             Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah.Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.nKeuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).
2.             Syirkah ‘abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl).Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150).Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal. Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi.Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu.Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).

Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah.Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra.pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.”[HR. Abu Dawud dan al-Atsram].
Kemudian hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau.
3.      Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh. Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat.Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil).Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf.Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya. Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).
4.             Syirkah wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49).Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya.
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli.Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan.
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam.
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat.Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan.Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.
5.             Syirkah mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh).Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
D.           Rukun dan Syarat Syirkah
1.             Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
a)    Akad (ijab-kabul)  disebut juga shighat.
b)   Dua atau lebih pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta).
c)    Obyek akad (mahar), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl)

2.             Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
a)    Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli.
b)   Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha)

3.             Syarat-Syarat Syirkah
a)    Orang yang bersyirkah sudah baligh, berakal sehat dan bukan budak belian.
b)   Modal yang akan disyirkahkan harus jelas.
c)    Masing-masing modal yang disyirkahkan harus dicampur menjadi satu sehingga tidak dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
d)   Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dalam lembaga syirkah tersebut harus jelas, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan oleh salah satu pihak yang dapat merugikan pihak lain.
e)    Untung dan rugi dalam usaha harus diatur berdasarkan perbandingan modal yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak.
DAFTAR PUSTAKA
As’ad, Mahrus, dkk. 2004. Memahami Fiqih Untuk Madrasah Aliyah Kelas I, Semester 1 dan 2. Bandung : CV. ARMICO
http://almasakbar45.blogspot.com/2011/11/syirkah-dalam-islam.html, diakses, minggu, 24 – 03 – 2013
http://ahmadrohani-ahro.blogspot.com/2011/12/makalah-tentang-syirkah.html, diakses, Minggu, 24 – 03 – 2013
http://lathifahbahrun.blogspot.com/2012/01/syirkah.html, diakses, Minggu, 24 – 03 - 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar