A.
Pengertian Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi),
yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya
menjadi sekutu atau serikat. Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga
dibaca syarikah.Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib
al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah). Menurut arti asli bahasa
Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih
sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian
lainnya. Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua
pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan.
Secara etimologis syarikah berarti ikhtilath (percampuran),
yakni bercampurnya satu harta dengan harta yang lain, sehingga tidak bisa
dibedakan antara keduanya. Selanjutnya, kata syirkah itu digunakan oleh ummat
Islam untuk sebuah transaksi perkongsian dalam dunia bisnis.
Dalam mendefinikan syirkah secara istilah syar’iy, para ulama berbeda
penekanan yang mengakibatkan perbedaan rumusan redaksional. Malikiyah mengatakan, syarikah adalah pemberian wewenang kepada pihak-pihak
yang bekerjasama. Artinya, setiap pihak memberikan wewenang kepada partnernya
atas harta yang dimiliki bersama dengan masih tetap berwenang atas harta
masing-masing. Menurut Hanabilah syirkah itu adalah berhimpunnya hak dan
wewenang untuk mentasharrufkan bisnis syirkah tersebut. Menurut Syafi’iyah, syirkah itu adalah eksisnya hak pada
suatu bisnis yang dimiliki oleh dua orang atau lebih. Menurut Hanafiyah, syirkah itu adalah suatu akad yang
terjadi antara dua oarang yang syarikat dalam modal dan keuntungan.Definisi
yang lebih tepat dan jelas adalah defisini Hanafiyah, karena secara eksplisit
ia menjelaskan hakikat syirkah itu sebagai akad kerjasama bisnis antara dua
pihak di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi modal, dan keuntungan
dibagi sesuai dengan kesepakatan. Defenisi-defenisi yang lain tidak mengarah
kepada substansi syirkah tetapi lebih kepada implikasi syirkah itu sendiri. Hal
itu terlihat dari kata kunci yang mereka gunakan dalam mendefinisikan syirkah,
yaitu kata hak (istihqaq dan wewenang tasharruf).
Sementara dalam terminologi ilmu fiqih, arti syirkah yaitu: Persekutuan usaha
untuk mengambil hak atau beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa
yang disebut Syirkatul Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi,
mengisyaratkan Syirkatul Uqud (Syirkah Transaksional). Kemudian dijelaskan
mengenai definisi syirkah bahwasyirkah adalah suatu perjanjian kerjasama
dibidang permodalan berupa investasi antara dua orang atau lebih untuk
memperoleh keuntungan bersama.(Mahrus As’ad, dkk. 2004 : 99)
B.
Landasan Syirkah
Dasar syari’ah konsep syirkah
terdapat dalam Alquran, Sunnah dan Ijma’.
1.
Al Quran
فَهُمْ
شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ
Artinya :
”Maka mereka bersyarikat pada
sepertiga” (QS. An-Nisa :12)
وَإِنَّ
كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلا الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
Artinya :
”Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang
yang bersyarikat itu, sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain
kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih (QS.Shad : 24)
Kata Al-Khulatha’ dalam ayat di atas bermakna
orang-orang yang bersyarikat(syuraka’).
2.
Al-Hadits
Sebuah hadits qudsi yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah secara marfu’ bahwa Rasulullah Saw bersabda:
”Sesungguhnya Allah ’Azza wa Jalla berfirman,
Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak
mengkhianati lainnya. “ (H.R.Abu Daud dan Hakim dan mereka menshahihkan hadits
ini).
Maksud hadits ini adalah bahwa Allah akan
menjaga dan membantu mereka yang bersyarikah dengan memberikan tambahan pada
harta mereka dan melimpahkan berkah pada perdagangan mereka. Jika ada yang berkhianat, maka berkah dan bantuan tersebut dicabut
Allah.
Rasulullah Saw juga bersabda,
”Tangan Allah berada pada dua orang
yang bersyarikat selama tidak berkhianat” (Disebutkan oleh Ibnu Qudamah
dalam Al-Mughni : 5/1).
3.
Ijma’
Para ulama telah konsensus (ijma’)
membolehkan syirkah, meskipun ada perbedaan pendapat dalam persoalan-persoalan
detailnya.
C.
Jenis-Jenis As-Syirkah
Secara umum Syirkah terbagai menjadi
dua macam :
1.
Syirkah Amlak
Syirkah
Amlak yaitu dua orang atau lebih memiliki benda/harta,
yang bukan disebabkan akad syirkah. Perkongsian pemilikan ini tercipta karena
warisan, wasiat, membeli bersama, diberi bersama, atau kondisi lainnya yang
berakibat pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih.Syarikah Amlak ini
terbagi lagi kepada dua macam, yaitu syarikah
ikhtiyardan syirkah jabar.
a) Syarikah ikhtiyar yaitu syirkah yang terjadi
oleh perbuatan dua orang yang bekerjasama, seperti manakala keduanya membeli,
diberi atau diwasiati lalu keduanya menerima, sehingga sesuatu tersebut menjadi
hak milik bersama bagi keduanya
b) Syirkah jabar yaitu syirkah yang terjadi bukan
oleh perbuatan dua pihak atau lebih sebagaimana syirkah ikhtiyar di atas,
tetapi mereka memilikinya secara
otomatis, terpaksa dan tidak bisa mengelak (jabari), seperti dua orang yang
mewarisi sesuatu, sehingga kedua orang tersebut sama-sama mempunyai hak atas
harta warisan tersebut
2.
Syirkah ’Ukud
Syirkah ’Ukud yaitu transaksi yang dilakukan
oleh dua orang atau lebih untuk berserikat dalam permodalan dan
keuntungan.Dalam syarikah ukud tidak terdapat karakterrstik jabari.Karena itu,
semua syirkah ukud bersifat ikhtiari, sehingga perundang-undangan (positif di
Mesir) menyebutnya sebagai syarikah ikhtiyariyah.
Para ulama berbeda pendapat dalam membagi
jenis-jenis syirkah ’ukud.
a) Menurut
Hanabilah, syirkah ’ukud ada 5 macam yaitu
:
1) Syirkah ’inan
2) Syirkah Mufawadhah
3) Syirkah Abdan
4) Syirkah Wujuh
5) Syirkah
Mudharaba
b) Menurut
Hanafiyah syirkah itu ada enam macam yaitu :
1) Syirkah Amwal
2) Syirkah A’mal
3) Syirkah Wujuh
Setiap syirkah tersebut terdiri dari dua macam
syirkah, yaitu syirkah mufawadhah dan syirkah ’inan.Sehingga seliuruhnya
berjumlah enam jenis syirkah.
c) Menurut
Malikiyah dan Syafi’iyah syirkah ada empat macam yaitu :
1) Syirkah Inan
2) Syirkah
Mufawadhah
3) Syirkah Abdan
4) Syirkah Wujuh.
Para ulama sepakat bahwa syirkah
‘inan dibolehkan, Sedangkan untuk jenis syirkah yang lain, terdapat perbedaan
pendapat di kalangan para ulama.
Berdasarkan perbedaan pendapat dari
para ulama mengenai macam-macam syirkah tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
ada 5 macam syirkah dalam islam yaitu :
1.
Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara
dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan
modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma
Sahabat Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan
bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah.Masing-masing
memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja
dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus
berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil,
tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya
(qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.nKeuntungan didasarkan pada kesepakatan,
sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk)
berdasarkan porsi modal. Jika,
misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian
sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin
Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal,
sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang
bersyirkah).
2.
Syirkah ‘abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi
modal (mâl).Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan
arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu,
tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990:
150).Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal. Contohnya: A
dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan.
Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi
dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi
boleh berbeda profesi.Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa
tukang kayu dan tukang batu.Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan
merupakan pekerjaan halal tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya,
beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh
sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah.Diriwayatkan dari
Ibnu Mas’ud ra.pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir
dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua
orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.”[HR. Abu Dawud dan al-Atsram].
Kemudian
hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau
membenarkannya dengan taqrîr beliau.
3.
Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan
ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak
lain memberikan konstribusi modal (mâl). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama
Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh. Contoh: A sebagai pemodal
(shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B
yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan
umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk
lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B)
sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C)
memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan
konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya
memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini
masih tergolong syirkah mudhârabah
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah
(taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat.Dalam syirkah ini,
kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola
(mudhârib/‘âmil).Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf.Namun
demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada
keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal,
sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah
berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung
kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya. Namun demikian,
pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena
kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal
(Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).
4.
Syirkah wujûh
Syirkah wujûh
disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah
al-Islâmiyyah, 2/49).Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan,
ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh
adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan
konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan
konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat.
Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga
berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya.
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan
pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak
(An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya
pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari
seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing
memiliki 50% dari barang yang dibeli.Lalu keduanya menjual barang tersebut dan
keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).Dalam
syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian
ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang
dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini
hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan.
Hukum kedua
bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk
syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah
mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat
Islam.
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang
dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah),
bukan semata-semata ketokohan di masyarakat.Maka dari itu, tidak sah syirkah
yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar),
yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan
keuangan.Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa
saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial
(tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam
urusan keuangan.
5.
Syirkah mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah,
dan wujûh).Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah
boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula
ketika digabungkan dengan jenis syirkah Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai
dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis
syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa
syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah),
atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi
modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa
masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk
berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan
pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini,
pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat
masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu,
ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga
terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C
sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan
konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân
di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B
dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua
jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
D.
Rukun dan
Syarat Syirkah
1.
Rukun syirkah
yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
a) Akad (ijab-kabul) disebut juga shighat.
b) Dua atau lebih pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki
kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta).
c) Obyek akad (mahar), disebut juga ma’qûd
‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl)
2.
Adapun syarat
sah akad ada 2 (dua) yaitu:
a) Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas
pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli.
b) Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar
keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha)
3.
Syarat-Syarat
Syirkah
a)
Orang yang
bersyirkah sudah baligh, berakal sehat dan bukan budak belian.
b)
Modal yang akan
disyirkahkan harus jelas.
c)
Masing-masing
modal yang disyirkahkan harus dicampur menjadi satu sehingga tidak dapat
dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
d)
Anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga dalam lembaga syirkah tersebut harus jelas, agar
tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan oleh salah satu pihak yang dapat
merugikan pihak lain.
e)
Untung dan rugi
dalam usaha harus diatur berdasarkan perbandingan modal yang dikeluarkan oleh
masing-masing pihak.
DAFTAR PUSTAKA
As’ad, Mahrus,
dkk. 2004. Memahami Fiqih Untuk Madrasah
Aliyah Kelas I, Semester 1 dan 2. Bandung
: CV. ARMICO
http://almasakbar45.blogspot.com/2011/11/syirkah-dalam-islam.html, diakses,
minggu, 24 – 03 – 2013
http://ahmadrohani-ahro.blogspot.com/2011/12/makalah-tentang-syirkah.html,
diakses, Minggu, 24 – 03 – 2013
http://lathifahbahrun.blogspot.com/2012/01/syirkah.html, diakses, Minggu,
24 – 03 - 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar